Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan bahasa daerah agar tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga sumber inspirasi untuk melahirkan karya sastra yang bernilai. Hal itu disampaikannya dalam acara “Diseminasi Produk Pengembangan Kebahasaan dan Kesastraan” yang digelar oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (30/8/2025).
Saat membuka acara, ia turut menyoroti semboyan kebahasaan “Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, Kuasai Bahasa Asing”. “Bahasa daerah itu harus dirawat, dijadikan sumber inspirasi, agar melahirkan karya sastra bernilai,” ujarnya dalam rilis yang diterima oetoesan.com, di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Ia menambahkan bahwa semboyan tersebut tidak boleh dimaknai setengah-setengah. “Bahasa asing juga kudu digatekna. Setitik-setitik ngerti ora apa, ben nek ketemu wong asing ora tak-tuk-tak-tuk wae,” tambahnya dengan logat khas Tegal yang disambut tawa hadirin.
Lebih lanjut, legislator Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mengaku kerap membeli buku-buku berbahasa Tegalan, seperti antologi puisi Tegalerin, cerita rakyat, atau novel.
Disampaikan bahwa acara ini merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran bahasa dan sastra dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi sebagai penopang peradaban.
Acara tersebut dihadiri oleh seniman, guru, novelis, dan pemerhati sastra dari Tegal, Slawi, dan Kabupaten Tegal ini bertujuan mengajak masyarakat untuk kembali merenungkan bahwa bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan.
Dalam kesempatan itu, Rektor Universitas Bhamada Slawi, Maufur, untuk membacakan puisi. Maufur kemudian mendaulat penyair Tegalan, Atmo Tan Sidik, untuk naik ke panggung. Sebelum Atmo membacakan puisi berjudul Wolu Obat Mumet Kanggo Indonesia, Maufur menjelaskan sejarah Sastra Tegalan yang lahir pada 26 November 1994.
Menurut Maufur, sastrawan Tegalan telah melahirkan empat aliran baru, yakni Wangsi (wangsalan puisi), Kur 267 (puisi pendek tiga baris), Puisi Tegalerin (2-4-2-4), dan Rolasan. Sebagian besar karya ini bahkan telah diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Maufur membenarkan hal ini dan menyebut dirinya juga sering menulis puisi serta cerita keseharian dalam bahasa Tegal. Ia menegaskan bahwa bahasa daerah adalah denyut nadi yang mengalirkan identitas. “Kegiatan ini ora mung nostalgia, tapi perlawanan halus supaya basa Tegal tetep urip,” kata Maufur.