Anggota Komisi III DPR RI, Hasbiallah Ilyas, menekankan pentingnya pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) agar lebih berpihak pada masyarakat luas, bukan semata pada aparat penegak hukum (APH). Hal tersebut disampaikan dalam Kunjungan Kerja Komisi III DPR RI di Padang, Sumatra Barat
“KUHAP kita ini memang dari tahun 1981. Kalau dibilang usang ya tidak, karena masih kita pakai. Tetapi kondisi waktu itu berbeda dengan hari ini. KUHAP yang ada lebih berpihak ke APH dibanding berpihak ke masyarakat,” ujar Hasbiallah kepada oetoesan.com, Jumat (26/9/2025).
Ia menegaskan, revisi KUHAP harus mengutamakan kemanfaatan, kepastian hukum, dan pemulihan bagi korban salah tangkap atau error in persona. Menurutnya, praktik ganti rugi dan rehabilitasi saat ini sangat menyulitkan masyarakat kecil.
“Salah tangkap itu sering kejadian. Setelah ditangkap, rehabilitasinya bagaimana? Untuk mendapatkan ganti rugi harus dimohonkan ke pengadilan. Ini sangat tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang miskin dan lemah,” tegasnya.
Hasbiallah juga mengkritisi kondisi peradilan yang belum sepenuhnya transparan. Ia menyinggung fenomena hakim yang terjerat kasus hingga lemahnya bantuan hukum. “Bantuan hukum yang ada hari ini kami melihat hanya lipstick. Kenyataannya tetap orang lemah yang paling dirugikan. Kalau tidak viral, kasus sering lambat diproses,” ujarnya.
Dalam konteks rancangan KUHAP yang baru, Hasbiallah menyambut baik gagasan menjadikan pidana penjara sebagai jalan terakhir. Ia menilai pencegahan kejahatan harus dioptimalkan agar beban negara tidak semakin berat.
“Penjara itu mestinya opsi terakhir. Kalau orang masuk penjara, justru membebani negara. Pencegahan harus diperkuat,” kata Politisi Fraksi PKB ini.
Meski begitu, ia menolak beberapa usulan dalam draf KUHAP, misalnya syarat izin pengadilan sebelum penangkapan. Menurutnya, kondisi infrastruktur peradilan di Indonesia belum memadai.
“Kalau polisi mau menangkap narkoba harus izin pengadilan dulu, bagaimana? Tidak mungkin. Infrastruktur pengadilan kita tidak sampai ke tingkat kecamatan,” jelasnya.
Hasbiallah juga menyoroti lambatnya proses P-19 atau pengembalian berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan. Ia menilai keterlambatan sering terjadi karena jaksa hanya melihat berkas tanpa memahami kondisi lapangan.
“Ini yang menyebabkan proses berlarut-larut. KUHAP yang baru harus bisa mengatur sinergi kepolisian dan kejaksaan agar lebih maksimal,” tambahnya.
Dalam kesempatan itu, ia memberikan apresiasi pada sejumlah inovasi, seperti program kejaksaan mengajar maupun pemanfaatan sistem elektronik di pengadilan. Namun, ia menekankan bahwa dominus litis tidak bisa serta-merta diadopsi dari sistem hukum negara lain.
“Hukum kita tidak bisa disamakan dengan Amerika atau Eropa. Kita punya adat dan kondisi masyarakat yang berbeda,” tegasnya.
Dengan berbagai masukan itu, ia berharap RUU KUHAP dapat menjadi warisan penting bagi generasi mendatang. “Hidup ini butuh legasi. Bagaimana kita nanti dicatat oleh sejarah, bahwa di zaman inilah KUHAP yang lebih baik lahir,” pungkasnya.