Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menegaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang tengah disusun berada di luar rezim Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur pekerja formal. Meskipun demikian, DPR tetap berupaya merumuskan norma perlindungan yang kuat tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan hak asasi manusia bagi para pekerja rumah tangga (PRT).
“Kalau kita bicara UU Ketenagakerjaan, mayoritas isinya adalah untuk pekerja formal. Nah, PRT ini termasuk pekerja informal, sehingga pendekatannya tentu berbeda. Tapi bukan berarti mereka tidak layak mendapat perlindungan,” ujar Ledia kepada oetoesan.com usai kegiatan diskusi kelompok terarah (FGD) Baleg DPR RI serap aspirasi di Universitas Udayana, Bali, Rabu (2/7/2025).
Dalam FGD tersebut, Baleg DPR RI menggali berbagai pandangan dari akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok advokasi seperti APIK dan JALA PRT untuk menyusun formula perlindungan yang tepat. Salah satu isu yang mencuat adalah pengaturan upah PRT yang tidak mengikuti standar Upah Minimum Regional (UMR).
“UMR itu standar untuk pekerja pabrik atau pekerja formal yang bekerja penuh waktu. Sedangkan PRT, banyak yang tinggal di rumah majikan, mendapat makan, dan fasilitas lainnya. Maka pendekatannya harus dikonversi secara adil,” jelas Politisi Fraksi PKS ini.
Ia menjelaskan bahwa undang-undang tidak hanya berfungsi sebagai perangkat hukum, tapi juga sebagai sarana mengubah cara pandang masyarakat. Karena itu, RUU PPRT perlu menjadi landasan untuk mendorong perubahan pola relasi kerja antara pemberi kerja dan pekerja rumah tangga secara lebih manusiawi.
“Kita harus memulai dengan norma, batasan, dan ketentuan. Dari situ kita bisa mengubah mindset masyarakat tentang hubungan kerja dengan PRT—bahwa ini bukan semata relasi domestik, tapi relasi kerja yang harus ada perlindungan dan kepastian,” imbuhnya.
Menanggapi kritik bahwa RUU PPRT berisiko melegitimasi domestifikasi perempuan, Ledia menegaskan bahwa pekerjaan rumah tangga bukan semata domain perempuan, meski memang didominasi oleh perempuan. Menurutnya, yang terpenting adalah memberikan perlindungan dari kekerasan, memastikan kesejahteraan, serta membuka peluang pengembangan diri bagi PRT.
“Saya tidak sepakat jika dikatakan ini domestifikasi. Ini adalah pekerjaan riil yang dilakukan oleh banyak orang, baik perempuan maupun laki-laki. Justru karena ini pekerjaan, maka perlu perlindungan yang memadai, tidak hanya untuk PRT tetapi juga untuk pemberi kerja,” ujar legislator asal Dapil Jawa Barat I tersebut.
Ledia menambahkan, tantangan penyusunan RUU PPRT terletak pada keberagaman kondisi PRT, baik yang pulang-pergi maupun yang tinggal menetap, serta adanya relasi informal yang selama ini belum diatur secara hukum. Karena itu, Baleg DPR RI terus melakukan FGD dan penyerapan aspirasi guna memastikan setiap pasal dalam RUU ini memiliki pijakan yang kuat dan aplikatif di lapangan.