Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa pembangunan pendidikan nasional membutuhkan sebuah rencana induk atau grand design yang komprehensif, bukan hanya kebijakan sektoral yang parsial.
Pernyataan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta pada Selasa (10/9/2025), bersama sejumlah alumni perguruan tinggi dan aliansi penyelenggara pendidikan swasta. Pria yang akrab disapa Fikri ini menyoroti berbagai isu mulai dari rusaknya sarana prasarana, kesejahteraan guru, hingga polemik UKT dan transparansi anggaran yang dinilai belum berpihak pada rakyat.
Menurut Fikri, sektor lain seperti pariwisata dan ekonomi kreatif sudah memiliki rencana induk yang jelas. Oleh karena itu, ia menilai sangat ironis jika pendidikan, yang menjadi fondasi pembangunan bangsa, justru belum memiliki grand design yang terukur dan berkeadilan.
Legislator PKS dari daerah pemilihan (dapil) IX Jawa Tengah ini menyoroti data hingga tahun 2019 yang menunjukkan 75% ruang belajar di Indonesia dalam kondisi rusak, sementara kesejahteraan tenaga pendidik masih memprihatinkan.
“Bagaimana kita bicara kualitas, jika sarana prasarana pendidikan rusak dan tenaga pendidik belum mendapat perlindungan memadai?” ujarnya.
Fikri juga menyinggung pendidikan vokasi yang justru menjadi salah satu penyumbang pengangguran tertinggi. Ia menilai hal ini menandakan adanya kekeliruan dalam konsep dan implementasi. “Kita butuh orientasi pendidikan yang jelas: berapa porsi akademik, berapa porsi vokasi, dan bagaimana link and match-nya dengan dunia kerja,” tegasnya.
Selain itu, ia mencontohkan kondisi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) seperti Sebatik, Kalimantan Utara, di mana ribuan anak pekerja sawit tidak bisa mengakses sekolah karena masalah administrasi. Menurutnya, ini adalah bukti bahwa negara belum sepenuhnya berpihak pada warganya.
Terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), Fikri mengkritik skema pendanaan pendidikan tinggi yang terlalu membebankan mahasiswa. Ia menjelaskan, jika pemerintah tidak menaikkan alokasi Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), maka kenaikan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) akan berujung pada kenaikan UKT.
“Pendidikan tinggi hanya akan jadi privilege bagi yang mampu, bukan hak setiap warga negara,” katanya. Selain itu, Fikri juga mempertanyakan transparansi alokasi anggaran pendidikan 20% sesuai amanat konstitusi, terutama terkait keberadaan sekolah kedinasan.
Ia meminta pemerintah untuk memperjelas apakah sekolah-sekolah tersebut sudah termasuk dalam anggaran pendidikan atau tidak, agar tidak ada lagi pembebanan yang tidak jelas pada rakyat.